Rabu, 25 Agustus 2010

Mati Sebelum Mati

Setelah lama belajar menyelami sebagian samudera "kebetulan", melihat, mendengar dan membaca tanda-tanda makna di balik banyak sekali peristiwa kebetulan, ternyata manuskrip tua di Peru itu betul : tidak ada kejadian yang kebetulan. Semuanya terangkai dalam jejaring makna yang sempurna. Cuman hanya karena kemampuan manusia untuk mengerti demikian terbatas, maka ada bagian-bagian dari jejaring makna tadi yang tidak terlihat. Dan bagian yang tidak bisa ditangkap oleh pengertian manusia yang terbatas inilah, yang kemudian diberi judul kebetulan.

Dalam teropong makna seperti ini, bisa dimaklumi kalau ada seorang sahabat yang pernah terperangah oleh sebuah tulisan saya. Bukan karena tulisannya bagus atau hebat, sekali lagi bukan. Namun karena pagi-pagi ia membaca tulisan saya yang berjudul "Kematian juga mempesona", siangnya ia ditinggalkan oleh Ibu kandungnya melalui proses kematian. Serupa dengan tulisan ini, ketika tangan-tangan ini sedang merapikan komputer sebagai persiapan menulis, seorang sahabat menelpon : "saya tersentuh dengan suara Anda di radio pagi ini tentang mati sebelum mati!".

Ada bagian-bagian dari tubuh ini yang pernah tersentuh oleh nasehatnya Winston Churchill. Di sebuah kesempatan, Churchill pernah berucap : we make a living by what we get, we make a life by what we give. Kita hidup dari apa-apa yang kita peroleh. Dan menciptakan kehidupan melalui apa-apa yang kita beri. Pesan ini menjadi demikian menyentuh, terutama karena kehidupan di zaman ini menghabiskan terlalu banyak waktu dan tenaga untuk mendapatkan sesuatu. Dan demikian sedikit yang kita alokasikan untuk memikirkan hal-hal yang bisa kita berikan.

Begitu ada orang lain yang menyebutkan kalau kita baru saja memberi - kendatipun dalam nilai yang masih bisa diperdebatkan - ada gelombang-gelombang kejernihan yang menghempas di dalam sini. Ia membersihkan, memurnikan sekaligus menjernihkan. Sehingga bisa dimengerti kalau ada sejumlah sahabat dengan modal-modal kepekaan yang mengagumkan, kemudian mudah sekali meneteskan air mata, terutama ketika tangannya harus menerima serangkaian pemberian.

Tidak saja pemberian dari orang lain, tetapi juga pemberian dari semesta dan pencipta. Seperti ada bagian-bagian tertentu dari pintu hati ini yang sedang diketuk, demikianlah pengalaman sejumlah sahabat ketika harus menerima pemberian. Jangankan memperoleh rezeki yang besar, menghirup nafas, melihat pemandangan yang indah, rumput menghijau, bunga yang mekar di taman, anak istri yang sehat walafiat, langit biru dan bahkan matahari terbenam dengan bentuk wajah tertentupun mudah sekali menyentuh. Sehingga dalam totalitas, hidup ini sebenarnya hanyalah sebuah jejaring pemberian. Sejak janin kita diberi makan oleh Ibu, dan sampai sekarangpun masih diberi makan oleh Ibu yang lain.

Ada sahabat yang bertanya, dari mana kepekaan-kepekaan seperti ini bisa diperoleh ? Inilah logika manusia masa kini, semuanya dilihat dan dicari dalam kerangka memperoleh, sedikit sekali yang memulainya dengan kata memberi. Ada memang sahabat yang berpendapat kalau kepekaan bisa diperoleh. Entah melalui proses belajar, mendengar, meniru dan masih ada lagi yang lain. Dan tentu saja cara pandang seperti ini layak dihargai.

Sama layaknya untuk didengar, ada juga sahabat yang menyebutkan kalau kepekaan akan muncul dengan sendirinya di dalam kalau manusia rajin memberi. Memberi, itulah titik berangkat menelusuri jalan-jalan kepekaan. Ada yang merayakan ulang tahunnya di Panti Asuhan. Ada yang menjadi pelayan umat di tempat ibadah masing-masing. Ada yang rajin membantu orang lain. Ada yang menebar senyuman di mana-mana. Ada yang memiliki tabungan tindakan-tindakan kecil yang tidak dikenal.

Setiap tangan yang rajin serta konsisten memberi, entah dari mana datangnya energi, tiba-tiba saja seperti ada yang mengirimi serangkaian kepekaan. Negatifnya, manusia jenis ini disebut oleh manusia lain sebagai terlalu perasa. Positifnya, ia terhubung secara mudah dengan jejaring makna. Sehingga dalam hampir setiap langkah, ia dibimbing, diberitahu, diarahkan serta dilindungi. Bisa dimaklumi kalau mereka kemudian mudah sekali meneteskan air mata. Bukan karena cengeng, melainkan karena kehidupan sudah demikian baiknya pada orang-orang jenis ini.

Dalam teropong makna yang lain, ada sahabat yang menyebut kelompok manusia seperti ini dengan manusia yang sudah mati sebelum mati. Sebelum tubuhnya disebut mati secara medis, ada kematian lain yang sudah menjemputnya terlebih dahulu. Yakni kematian manusia dari ego, aku, subyek, dan identitas sombong serta angkuh lainnya. Pengetahuan dan bahasa memang mengenal subyek dan obyek. Logika-logika pengetahuan tertentu juga menempatkan manusia dalam posisi mengetahui, dan selain manusia didudukkan dalam kursi diketahuin. Namun, kehidupan yang sudah mati sebelum mati tidak mengenal identitas subyek dan obyek, tidak ada kotak mengetahui diketahui, yang ada hanya sebuah jejaring makna. Di mana semuanya terhubung demikian rapinya.

Dalam bahasa salah seorang pejalan kaki di bidang ini : when I discovered that I am nothing, I am well connected with everything . Ketika manusia menyadari dirinya bukan apa-apa, ia terhubung secara amat rapi dengan jejaring makna. Dan kemudian lebih dari sekadar terhubung, gerakan-gerakan hidup berjalan sangat seirama dengan semesta. Tidak ada kata yang lebih berguna dari kata syukur dalam hal ini. Ada sahabat yang berani mati sebelum mati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar